Rabu, 07 Maret 2012

Wahai Langit

Wahai langit...hari ini saya malu sekali. Saya melewatkan ucap saya...saya meniadakan ketetapan yang sudah bersemayam di hati. Saya teringat sebuah pesan kepada saya. Wahai langit maafkan saya...izinkan saya untuk bersimpuh kepadamu. Saya luruskan niat ini,...
Dia itu maha mengetahui, maha mengetahui apa yang sudah dan belum terjadi, bila diibaratkan DIA adalah sutradara dan penulis cerita dari kehidupan kita, semua yang akan kita pikirkan dan akan kita kerjakan saat ini, besok, atau bertahun-tahun kemudian. Sebagai contoh sebagai manusia tidak lepas dari cobaan, saat DIA menuliskan takdir akan adanya cobaan yang akan kita terima, DIA sudah tahu apa yang akan kita lakukan dalam menyikapi cobaan tersebut, apakah kita akan sabar? Apakah kita akan menghujat-Nya? Apakah kita akan terus istiqomah? Jadi jika saat ini kita semua diberikan suatu cobaan, takdir apa yang kita terima sesudahnya adalah apa yang kita sikapi dari cobaan tersebut, dan itu sudah dituliskan pada takdir kita. Jadi memang benar takdir kita sudah ditulis dengan tinta dan sudah kering, tapi hal itu tergantung pada sikap kita sendiri dalam menjalani hidup ini. Yang penting dalam hidup ini kita harus melakukan hal yang terbaik dan selalu ada dalam jalan-Nya. Masalah hasil apa yang kita terima itu urusan-Nya. Bisa jadi Allah menunda hadiah untuk kita atau mungkin mengganti dengan hal yang lebih baik, kita tidak akan pernah tahu mana yang lebih baik bagi kita...

Jumat, 18 Maret 2011

Batas gila akhir tanda tanya


Oleh: Rini Yusti
Shutter Island—pulau terasing orang tak waras, menyimpan lorong gelap. Pengobatan orang gila tak manusiawi hingga kian berputarnya waktu menyingkap misteri. Shutter Island tak sekadar pusaran teka-teki. Dia juga menguji batas kegilaan kita.
Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio) bersandar di bibir kapal yang ditumpanginya. Matanya nanar memandang gelombang laut, wajahnya pucat. Berkali-kali tangannya memegang kepala. Dia rupanya mabuk laut. Tak berapa lama, rekan baru Chuck Aule (Mark Ruffalo) menghampiri Teddy. Obrolan dua US Marshall ini pun berlangsung.
Seting tahun 1954 tergambar jelas dalam film berdurasi 138 menit. Martin Scorsese sang sutradara mampu menghadirkan fenomena 1954 lewat detail properti film yang dirilis Februari 2010 lalu. Kapal besar yang ditumpangi Teddy & Chuck hingga kostum yang dikenakan para awak kapal serta dua US Marshall itu. Celana panjang gantung semata kaki, potongan jas hingga topi bundar khas US Marshall di era itu.
Kapal mendarat di dermaga pulau terasing—tempat para kriminal mengalami kegilaan. Para penghuni pulau itu dirawat di Ashcliffe Hospital. Teddy & Chuck mendapat tugas menyelidiki salah satu pasien perempuan yang hilang. Sang pasien merupakan pembunuh sadis yang telah menghabisi nyawa suami dan anak-anaknya. Jiwa detektif Teddy memang kuat, mantan veteran PD II ini satu per satu mencari “kunci” hilangnya sang pasien.
Memasuki Ashcliffe Hospital, baik Teddy &Chuck dan penonton disuguhi pemandangan bikin miris. Pasien-pasien berambut rontok nyaris botak, berkulit keriput, wajah sangar, kaki dan tangan diborgol meramaikan pelataran Rumah Sakit Gila itu. Era 1954—pengobatan para pasien gila dikenal kurang manusiawi, pengasingan, penyiksaan pasien hingga operasi otak.
Seiring badai hebat, angin dahsyat, selama empat hari Teddy & Chuck menyelidiki misteri hilangnya sang pasien, jalinan “kunci” penunjuk kasus mulai terang ditemukan. Kian jauh penyelidikan mereka, satu per satu misteri tersingkap. Yang tak lain sang pasien adalah mantan perawat Ashcliffe, sel-sel gelap “pengobatan” pasien kelas berat alias sakit parah. Misteri itu bagai labirin, yang semakin membawa masuk Teddy lebih dalam lagi. Di tengah pusaran penyelidikan itu, siksaan sakit kepala Teddy kian dahsyat. Dia pun semakin menyadari tak bisa lagi keluar dari pulau terasing itu. “Sang pengelola pulau dan jajaran petinggi pulau telah menyiapkan skenario besar,” begitu pikir Teddy. Martin Scorsese memang piawai memainkan kejutan dan persepsi penonton. Sutradara The Departed ini lagi-lagi menghadirkan akhir tak terduga. Masa lalu Teddy satu per satu disingkap. Hingga akhirnya muncul “kegilaan” Teddy atas trauma masa lalunya . Satu per satu rahasia Ashcliffe pun dikuak, termasuk rekan Teddy, Chuck. Lorong-lorong gelap, sel-sel kumuh, angin mengamuk, jalan-jalan curam kian menguatkan aroma misteri Shutter Island. Shutter Island menjadi thriller yang cukup menguras tanda tanya penonton. Siapa yang gila? Teddy, para dokter dan psikolog Ashcliffe, para pasien? Pada akhirnya penonton juga dibuat dalam batas kegilaan.
Tak kalah seru dengan RS Ashcliffe, tokoh Teddy pun menyimpan misteri yang satu per satu dikupas bagai lapisan bawang bombay. Teddy—(dan saya sebagai penonton)—terjebak dalam permainan persepsi Martin Scorsese.
Dua jempol memang patut diberikan Martin. Seperti halnya film-film Martin lainnya, film thriller psikologi Martin ini, berakhir dengan tanda tanya yang sampai jadi penasaran para penontonnya.
Pernyataan terakhir Teddy di akhir film ini juga memunculkan multitafsir, yang tak lebih. “Sangat menyakitkan berkeliaran di dunia dengan label gila.”
Martin mengajak para penontonnya bermain persepsi. Hingga para penonton pun termasuk saya, pada endingnya bertanya-tanya dalam diri. “Jangan-jangan saya ini gila, mereka di luar sana orang yang waras. Atau jangan-jangan mereka di luar sana tak waras dan sayalah yang waras?” Pertanyaan konyol yang bisa jadi bahan renungan.
Dikaitkan kondisi sekarang, apapun itu batas kegilaan belakangan memang kian tipis. Semoga Anda tak termasuk di dalamnya.

Selasa, 01 Februari 2011

Awalan...

Ini adalah awalan...di mana huruf berangkai menjadi sebuah kata. Deretan kata menjadi kalimat. Jalinan kalimat menjadi sebuah kisah. Kisah soal apa saja. Yang bisa membuat kita memaknai jiwa, yang bisa mengambil pesan dalam untaian kalimatnya, Ini adalah awal...